BAB I
PENDAHULUAN
Sedikit aneh kalau dikatakan bahwa dalam Islam, sebagai agama,
persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam
bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan
teologi.
Agar hal ini menjadi jelas ada baiknya kita kembali sejenak ke dalam sejarah
Islam.
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat peran beliau sebagai kepala negara
digantikan oleh para sahabatnya, yang disebut khulafaur rasyidin yakni
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun,
ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat
Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah
mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang ditimbulkan pada masa itu
menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada
masalah teologi.
Menurut
Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam sendiri dipicu oleh persoalan
politik yang mengangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berujung
pada penolakan Mu’awiyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan
ini mengakibatkan timbulnya perang siffin yang berakhir dengan keputusan
tahkim(arbitrase).
Kemudian
hal ini mengakibatkan perpecahan di pasukan Ali sehingga pasukan Ali terbagi
menjadi dua. Yang tetap mendukung keputusan Ali disebut golongan Syi’ah
sedangkan yang tidak setuju dan keluar dari pasukan Ali disebut golongan
Khawarij.
Harun
lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir. Persoalan ini telah
menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu:
1.
Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang berdosa besar adalah kafir,
dalam arti telah keluar dari islam(murtad)dan wajib di bunuh.
2.
Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa besar yang dilakukannya,
hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3.
Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat diatas. Bagi
mereka, orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tapi bukan pula mukmin.
Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya
dikenal dengan istilah al-manzilah manzilatain.
Dalam
islam kemudian muncul lagi dua aliran yaitu Qadariyah dan Jabariyah. Menurut
Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Sedangkan Jabariyah berpendapat sebaliknya yaitu manusia tidak punya
kemerdekaan berkehendak dan berbuat.
Untuk
mengetahui apakah aliran-aliran teologi yang disebutkan di atas masih ada
eksistensinya pada masa sekarang ini atau hanya pemikiran-pemikiran mereka saja
yang masih subur sampai sekarang atau bahkan mereka hanya menjadi bagian dari
sejarah teologi Islam, maka kami merasa tertarik untuk membahasnya dalam sebuah
makalah yang berjudul “Aliran Teologi dalam Islam: Khawarij, Murji’ah,
Jabbariyah”
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KHAWARIJ
Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah Islam, bahwa kaum khawarij
pada mulanya adalah pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib, tetapi kemudian
mereka meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi
Thalib yang menerima “tahkim” (arbitrase) sebagai jalan untuk menyelesaikan
persengketaannya dengan Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan. Nama “Khawarij” berasal dari
kata “kharaja” yang berarti: keluar. Nama tersebut diberikan kepada mereka
karena mereka menyatakan diri keluar dari barisan Ali dalam persengketaannya dengan
Mu’awiyah.
Khawarij
merupakan aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut
Asy-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar
dari imam yang hak dan telah disepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa
sahabat Khulafaur Rasyidin, maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.
Pengikut
Khawarij, pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di
padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersipat sederhana, baik
dalam cara hidup maupun dalam cara berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras
hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan
cenderung radikal. Karena watak keras yang dimiliki oleh mereka itulah, maka
dalam berfikir dan memahami agama mereka pun berpandangan sangat keras.
Pada masa-masa
perkembangan awal Islam, persoalan-persoalan politik memang tidak bisa
dipisahkan dengan persoalan-persoalan teologis. Sekalipun pada masa-masa
Rasulullah masih hidup, setiap persoalan tersebut bisa diselesaikan tanpa
memunculkan perbedaan pendapat yang berkepanjangan di kalangan para sahabat.
Setelah Rasulullah wafat, dan memulainya penyebaran Islam ke seluruh pelosok
jazirah Arab dan luar Arab persoalan-persoalan baru pun bermunculan di berbagai
tempat dengan bentuk yang berbeda-beda pula. Sehingga, munculnya perbedaan
pandangan di kalangan ummat Islam tidak bisa dihindari.
1.
Latar
Belakang Kemunculan
Aliran Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yang
kemudian beralih menjadi gerakan teologis. Perubahan ini terutama setelah
mereka merujuk beberapa ayat Alquran untuk menunjukkan, bahwa gerakan mereka
adalah gerakan agama. dan secara terorganisir terbentuk bersamaan dengan
terpilihnya pemimpin pertama, Abdullah bin Wahab Al-Rasyibi, yang ditetapkan
pada tahun 37 H. (658 M). Karena pertimbangan-pertimbangan politis, Fazlur
Rahman memandang bahwa Khawarij “tidak memiliki implikasi doktrinal yang
menye-leweng, tetapi hanya seorang atau sekelompok pemberontak atau aktifis
revolusi”.
Persoalan pergantian kepemimpinan ummat Islam (khalifah) setelah
Rasulullah wafat, menjadi titik yang jelas dari semakin berlarut-larutnya
perbedaan pendapat dan perselisihan di kalangan ummat Islam, bahkan menjadi isu
akidah yang serius, sehingga menyebabkan munculnya berbagai aliran teologi. Terpilihnya
Ali sebagai khalifah, menggantikan Usman, pertentangan dan peperangan diantara
ummat Islam tidak reda. Pada akhirnya, ada upaya perdamaian diantara yang
bertikai tersebut. Dua tokoh tampil, masing-masing mengatasnamakan sebagai juru
pendamai dan wakil dari pihak Ali dan Muawiyah, yakni Abu Musa Al-Asy’ari dan
Amru bin Ash.
Dalam sejarah Islam, usaha perdamaian itu dikenal dengan “Majlis
Tahkim”, dalam persengketaan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah pada perang
Shiffin, suatu tempat di tepi Sungai Efrat, yang menyebabkan tampilnya Muawiyah
sebagai khalifah. Hasil perdamaian tersebut, memunculkan kesepakatan bahwa Ali
dipecat dari kursi kekhalifahan, dan Muawiyah ditunjuk sebagai penggantinya.
Setelah Muawiyah diangkat menjadi khalifah inilah, maka muncul
golongan-golongan politik dilingkungan ummat islam, yakni Syi’ah, Khawarij, dan
Murji’ah. Bermula dari persoalan politik, akhirnya berubah menjadi persoalan
teologis, masing-masing saling menuduh dan mengeluarkan hukum dengan
tuduhan-tuduhan kafir, dosa besar, dan lain-lain, sampai memunculkan persoalan
sumber perbuatan manusia, apakah dari Tuhan atau dari diri manusia sendiri.
2.
Faham-faham
kaum Khawarij
Pada
masa sebelum terjadinya perpecahan di kalangan Khawarij, mereka memiliki tiga
pokok pendirian yang sama, yakni : Ali, Usman, dan orang-orang yang ikut dalam
peperangan serta orang-orang yang menyetujui terhadap perundingan Ali dan
Muawiyah, dihukumkan orang-orang kafir.
Setiap ummat Muhammad yang terus menerus melakukan
dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta
kekal dalam neraka. Membolehkan tidak
mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan
zalim.
Oleh karena iman dan faham mereka merupakan iman dan faham orang
yang sederhana dalam pemikiran lagi
sempit akal seta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan
sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan terhadap
ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.
Disinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya mereka terpecah belah menjadi
golongan-golongan kecil yang diantaranya:
a.
Al
Muhakkimah
Golongan asli yang
terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Mereka menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir, dan
mereka pun meluaskan pengartiannyasehingga orang yang berbuat dosa besar
termasuk golongan orang yang kafir. Menurut
mereka berbuat zinah dan membunuh adalah suatu perbuatan dosa besar yang
menurut paham golongan ini orang yang mengerjakannya menjadi kafir dan keluar
dari agama Islam.
b. Al-Azariqah
Golongan ini adalah
golongan yang muncul setelah golongan Al Muhakkimah hancur. Daerah kekuasaannya adalah diperbatasan Irak dan Iran. Nama Al
Azariqah diambil dari Nafi ‘Ibn al-Azraq. Pengikutnya menurut al-Baghdadi
adalah lebih dari 20 ribu orang.
Golongan
ini sifatnya lebih radikal dari golongan Al Muhakkimah. Merekatidak lagi
memakai term kafir, tetapi term musyrik atau polyteist, yang dalam
Islam merupakan dosa besar, lebih besar dari kufr. Selanjutnya orang yang
tidak sepaham dan yang sepaham namun tidak tinggal diwilayah atau dilingkungan
golongan Al-Azariqah dianggap juga seorang yang musyrik. Siapa pun orang yang mereka jumpai dan mengaku bahwa orang Islam namun tak sepaham
dengan Al Azariqah, mereka bunuh. Barang siapa yang datang dan mengaku
bahwa dia adalah seorang pengikut golongan ini, orang itu akan diuji
terlebih dahulu, yaitu membunuh seorang tawanan,dan bila tawanan itu tidak
dibunuhnya maka kepala ialah yang dipenggal.
c. Al Najdah
Najdah
Berlainan dengan dua golongan di atas. Menurut mereka orang yang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka adalah orang
Islam yang tak sepaham dengan
golongannya. Adapun pengikutnya jika berdosa besar, betul akan mendapat
siksaan, tetapi tidak dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga. Dosa kecil bagi golongan ini akan menjadi dosa besar
jika dikerjakan terus menerus dan orang yang
mengerjakannya adalah orang yang Musyrik.
Golongan ini
berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiap-tiap Muslim adalah mengetahui Allah dan Rasul-rasul Nya,
mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh apa yang
diwahyukan Allah kepada Rasul Nya. Orang yang tak mengetahui ini tak diampuni.
Dalam Al KHawarij,
golongan inilah yang pertama kali membawa paham taqiah, yaitu merahasiakan
dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan diri seorang. Taqiah menurut
pendapat mereka bukan hanya dalam bentuk ucapan tetapidalam bentuk perbuatan.
d. Al Ajaridah
Mereka
adalah pengikut dari ‘Abd Al-Karim Ibn’ Ajrad yang menurut AlSyahrastani merupakan salah satu teman dari Atiah Al-Hanafi.
Kaum Al Jaridah bersifat lebih lunak, karena menurut
paham mereka berhijrah bukanlah merupakan suatu kewajiban sebagaimana yang
diajarkan oleh Nafi Ibn Al-Azraq dan Nadjah,
tetapi hanya merupakan kebajikan. Seterusnya mereka berpendapat bahwa anak kecil tidak bersalah
atau berdosa, tidak musyrik sepertiorangtuanya bila orang
tuanya musyrik .
Selanjutnya kaum Al Jaridah tidak mengakui surat Yusuf
sebagai bagian dari Al Quran, karena menurut
mereka surat yusuf membawa cerita cinta, dan Al Quran sebagai kitab suci
tidak mungkin mengandung cerita cinta.
Al Ajaridah terpecah menjadi golongan-golongan kecil,
diantaranya; golongan Al Maimunnah dan Al
Hamziah yang menganut paham qadariah
dan golongan AlSyuaibiah dan Al Hazimiah
yang menganut paham “Tuhanlah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
manusia dan sebagai manusia tidak dapat menentang kehendak Allah”.
e. Al Sufriah
Pemimpin golongan ini adalah Zaid Ibn Al Asfar. Dalam paham mereka
tidak jauh berbeda dengan golongan Al Azariqah. Namun, ada
pendapat-pendapat merekayang menjadikan mereka kurang ekstrim yaitu:
1. Orang sufriah yang berhijrah tidak dipandang
kafir.
2. Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaummusyrik boleh dibunuh.
3. Mereka berpendapat tidak semua orang yang berdosa besar musyrik.
4. Daerah golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka buka dar harb yaitu
daerah yang harus diperangi; yang diperangi hanyalah maaskar atau
camp pemerintah, dibunuh.sedang anak-anak dan perempuan tidak boleh
ditawan.
5. Kufr dibagi dua; kufr bin inkar al nimah yaitu mengingkari rahmat Tuhan dan kufr bin inkar al rububiah,
yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian termasuk kafir tidak selamanya keluar
dari Islam.
Disamping pendapat
tersebut ada pendapat yang spesifik bagi mereka:
1. Taqiah.Menurut mereka hanya boleh dalam bentuk
perkataan.
2. Perempuan boleh menikah dengan laki-laki kafir jika untuk keamanan
dirinya(di daerah bukan Islam).
f. Al Ibadiah
Golongan
ini adalah golongan yang paling moderat dibandingkan dengan golongan-golongan
Khawarij yang lain. Namanya diambil dari Abdullah Ibn Ibad, yang pada ahun 686
M, memisahkan diri dari golongan Al Zariqah. Paham moderat mereka sebagai berikut:
1. Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan musyrik
,tetapi kafir.
2. Daerah orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah
merupakan dar tawhid, daerah orang yang mengesakan Tuhan, tidak boleh
diperangi. Yang merupakan dar kufr, yaitu harus diperangi hanyalah ma askar
pemerintah.
3. Mengerjakan dosa besar tidak membuat orang
keluar dari Islam.
4. Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak
harus dikembalikan kepada yang memiliki.
Golongan
khawarij Al Ibadiah ini masih ada sampai sekarang, terdapat diZanzibar, Afrika Utara, Umman dan Arabia Selatan.
B. Murji’ah
Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau
terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar,
sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij.
Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang
terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang
mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan
dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
Nama Murji’ah diambil
dari kata irja atau Arja’a, yang bermakna penundaan, penangguhan dan
pengharapan, kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi
harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah,
selain itu, Arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu
orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang
yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan
Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Teori Pertama : Mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan
oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam.
Ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari
sektarianisme, Mutji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis,
diperkirakan lahir bersaman dengan kemunculan syi’ah dan khawarij.
Teori ke dua : Sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin
Abi Thalib, Al-hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. dengan
menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama
yang melibatkan usman, ali dan zubayar (seorang tokoh pembelot ke mekah).
Teori ketiga :
menceritakan ketika terjadi perseteruan antara ali dan muawiyah dalam perang
shiffin, dilakukan tahkim/arbitase atas usulan. Amr bin Ash, kaki tangan
muawiyah, kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan kontra kelompok
kontra yaitu golongan khawarij, menyatakan bahwa tahkim bertentangan dengan
Al-Qur’an karena tidak berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu mereka
berpendapat bahwa pelaku tahkim adalah dosa besar, pendapat ini ditentang oleh
sekelompok sahabat yang kemudian disebut golongan murji’ah yang menyatakan
bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin tidak kafir, sementara dosanya diserahkan
kepada Allah apakah dia akan mengampuninya atau tidak.
1. Pokok-Pokok Ajaran Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah
pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang
diaplikasikan dalam banyak persoalan politik dan teologi, dibidang politik
doktrin irja di implementakan sebagai sikap “dram”, sikap politik netral atau
non blok, adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan ketika menanggapi
persoalan yang mencakup iman, kufur dosa besar dan ringan, tauhid tafsir
Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dasar besar, kemaksuman Nabi, hukuman
atau dosa, ada yang kafir dikalangan generasi awal islam, tobat, hakikat
Al-qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan tuhan (Gibb and Krimmers, Hlm
412).
Doktrin teologi
murji’ah menurut W. Mango Merry watt :
a. Penangguhan keputusan terhadap ali dan muawiyah, hingga Allah Memutuskannya
di akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali Untuk menduduki tangking ke empat dalam peringkat
Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
c. Pemberian harapan (Giving Of Hope), terhadap orang muslim yang berdosa
besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dadri Allah.
d. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (Madzhab) para skeptis dan
empiris dari kalangan helenis.
Doktrin teologi
murji’ah, menurut Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokiknya yaitu:
a. menunda hukuman atas Ali, Muawiyah Amr bin Ash, dan abu musa Al-asy’ary
yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak
b. Menyerahkan keputusan Allah atas orang muslim yang berdosa besar
c. Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah.
Abu A’la Al-Mahmudi
menyebutkan dua doktrin periode ajaran Murji’ah, yaitu:
a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasulnya saja, adapun amal atau
perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman, berdasarkan hal
ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan
dan melakukan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata, selama masih ada iman di hati, setiap
maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang, untuk
mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya menjalankan diri dari syirik dan
mati dalam keadaan akidah tauhid.
2. Sekte-sekte Murjia’ah
Dalam perkembangannya
mazhab murji’ah yang Samman dan Dirar bin Umar mengalami perbedaan pendapat
dikalangan para pendukung Murji’ah sendiri.
Al Syahrastani membagi
kelompok-kelompok Murji’ah yang dikutip Watt, Early Islam hal (181) yaitu
sebagai berikut :
a. Murji’ah Khawarij
b. Murji’ah Qadariyah
c. Murji’ah Jabari’ah
d. Murji’ah Murni
e. Murji’ah sunni (tokohnya adalah abu hanifah)
Sementara itu, Muhammad
Imarah menyebutkan 9 sekte murjiah, yaitu:
a. Al-Jahmiyah, pengikut John bin Shufwan
b. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi
c. Al-Yunushiyah, Pengikut Yunus As-Samary
d. As-Samriyanh, Pengikut abu samr dan yunus
e. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Sufyan
f. Al-Ghailaniyah, pengikut abu marwah Al-Ghailan bin marwan ad-Dimsaqy
g. An Najariyah, Pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr
h. Al-Hanifyah, pengikut Abu Harfah An-Nu’man
i.
Asy-Syabibiyah,
pengikut muadz Ath, Thaum’i
Harun Nasution secara
garis besar membagi dalam 2 sekte yaitu :
a. Golongan moderat
b. Golongan eksterim
Murji’ah moderat
berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir’ tidak pula kekal di
dalam neraka, mereka di siksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah
sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang tuhan
dan Rasul-rasulnya, serta apa saja yang datang darinya secara keseluruhan namun
dalam garis besar, iman dalam hal ini tidak bertambah dan berkutang, penggagas
pendirian ini adalah; Al Hasan bin Muhammad bin Abi Bin Thalib, abu hanifah,
abu yusuf dan beberapa ahli hadist.
Murji’ah ekstrim
diantaranya adalah kelompok-kelompok sebagai berikut :
a. Jahmiyah, Kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan
bahwa orang yang percaya keada tuhan kemudian menyatakan kekufurannya, secara
lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati
bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
b. Shalihiyah, Kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah
mengetahui tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu tuhan salat bukan merupakan
ibadah kepada Allah.
c. Yang disebut ibadah adalah iman kepadanya dalam arti mengetahui tuhan.
Begitu pula zakat, puasa da haji bukanlah ibadah melainkan sekedar
menggambarkan kepatuhan.
d. Yunusiyah dan Ubaidilah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat
atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang mati dalam iman, dosa-dosa
dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan,
dalam hal ini, muqotil bin sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak
atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politerest).
e. Husaniyah, menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan “saya tahu tuhan
melarang makan babi tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu
adalah kambing ini”. Maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir begitu pula
orang yang menyatakan, “saya tahu tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi
saya tidak tahu apakah ka’bah di India atau tempat lain”.
Pendapat-pendapat ekstrim seperti diuraikan di atas menimbulkan pengertian
bahwa, hanya imanlah yang penting dan menentukan mukmin atau tidaknya mukminnya
seseorang, perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini, karena
yang penting ialah iman dalam hati, ucapan dan perbuatan tidak merusak iman.
Ajaran serupa ini ada bahayanya karena dapat memperlemah ikatan moral yang
akan mengakibatkan adanya masyarakat bersifat permissive, masyarakat yang dapat
mentolelir penyimpangan dari norma akhlak yang berlaku, karena yang
dipentingkan hanyalah iman, norma akhlak kurang penting dan diabaikan, inilah
kelihatannya yang menjadi penyebab kurang baik dan kurang disenangi dari ajaran
aliran Murji’ah.
Tetapi pendapat dari golongan Murji’ah moderat, sesuai dengan pendapat dari
golongan Asy’ariah atau golongan ahlu sunnah bahwa, iman ialah pengakuan dalam
hati tentang ke esaan Allah dan tentang kebenaran Rasul-rasulnya serta segala
apa yang mereka bawa mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun islam hanya
merupakan cabang iman. Pelaku dosa besar jika meninggal dunia tanpa taubat, ada
kemungkinan diampuni tetapi ada pula tidak akan diampuni, tetapi akan di siksa
dahulu dineraka.
Golongan Murji’ah
moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah,
tetapi ajaran mereka tentang iman, kufur dan dosa besar masuk ke dalam aliran
ahli sunah wal jama’ah, adapun golongan Murji’ah ekstrim juga telah hilang
tetapi dalam prakteknya, secara tak sadar banyak umat manusia mengikuti aliran
Murji’ah ekstrim.
Sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem
sudah tidak didapati lagi sekarang. Walaupun demikian, ajaran-ajarannya yang
ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari
kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai pelaku dosa-dosa besar serta
pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang umum disepakati oleh umat Islam.
C. Jabbariah
Secara etimologis
jabariyah mengandung arti memaksa yang berarti Tuhan sebagai yang maha kuasa
bersifat, berkehendak mutlak atas manusia. Dalam kotegori inilah manusia
melakukan segala sesuatu secara tepaksa (majbur) berdasarkan ketentuan
Tuhan. Manusia tidak memiliki kehendak. Segala yang diperbuatnya telah
ditentukan sebelumnya atas kuasa takdir (qada’ dan qadar) Tuhan. Berdasarkan deskripsi tersebut maka paham jabariah
yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah paham yang mengerdilkan hingga
menghilangkan semua kemampuan dan kebebasan manusia dalam berkehendak.
Berdasarkan definisi tersebut, maka paham jabariah terkadang dianggap sebagai
paham yang patalism atau paham yang melihat manusia yang tak memiliki celah
ihtiar dalam melakukan kehendaknya.
Harun Nasution melihat
latar sejarah munculnya paham ini berdasarkan anilisis sosial dengan penekanan
pada situasi lingkungan kehidupan bangsa Arab yang sangat ekstrim di masa itu.
Suasa padang pasir dengan panasnya yang terik dan hamparan tanah yang enggan
ditumbuhi tanaman, membuat bangsa Arab merasa tidak memiliki kemampuan kecuali
menyerah pada kehendak natur. Dengan demikian
manusia merasa dirinya lemah dan sekaligus tidak mempunyai kemampuan mengubah.
Analisa demikian nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran perubahan social Aguste
Comte yang mendasarkan tahapan-tahapan perubahan social bermula dari kesalahan
manusia melihat alam hingga kebangkitan agama (monoteisme) yang mengantar
lahirnya tahapan pamungkas yaitu peradaban positivisme. Dengan demikian latar
belakang ihwal lahirnya paham jabariah dalam tradisi Islam dalam versi Harun
Nasution nampaknya bias dari pendekatan europasentrisme. Sebab jika hanya
berdasarkan pada situasi lingkungan yang melahirkan paham jabariah, maka
tradisi (paradigma) kejabariahan tidak akan terjadi dilingkungan yang subur,
seperti Indonesia misalnya. Tetapi faktanya tidak demikian.
Melacak latar historis
sebuah paham sebaiknya ditelusuri berdasarkan latar epistemologis mengapa paham
tersebut lahir. Dalam pandangan penulis lacakan epistemologi memuat keseluruhan
peristiwa lahirnya sebuah paham, jauh lebih komprehensif dibandingkan jika
penelusuran hanya berdasarkan pada analisis sosial semata, seperti yang
diuraikan oleh Harun Nasution tentang latar belakang jabariah lahir sebagai
sebuah paham. Pendekatan epistemologis mencakup dimensi sejarah dan realitas
manusia dalam melahirkan paradigma dalam era tertentu.
Jabariah lahir di saat
bangsa Arab sangat diuntungkan oleh kehadiran teks kitab suci Alquran. Dimana
setiap teks dianggap memiliki otoritas dalam menentukan setiap pikiran dan
tindakan ummat. Tetapi konsepsi itu mengalami pergeseran setelah kewafatan nabi
Muhammad saw. Makna teks yang sebelumnya absolute tunggal, di bawah otoritaf
Muhammad saw, bergeser dari absolute kemakna interpretative, hingga makna teks
menjadi plural. Dalam keadaan demikian teks-teks yang sebelumnya tidak
dipertentangkan menjadi dipertentangkan karena diinterpretasi secara berbeda,
demikian juga dengan teks yang berdimensi teologis maknanya telah menjadi tidak
tunggal (disepakati). Perbedaan interpretasi atas teks mengandung makna lain
yaitu adanya cara atau metodologi yang berbeda dalam mehamai sebuah teks.
Dalam tradisi
Islam pengetahuan atas teks lebih dikenal dengan istilah berpikir dengan
pendekatan bayani atau epistemologi bayani.
Metode bayani adalah metode
rasional atau deduktif yang dalam masyarakat Islam metode tersebut lebih lekat
dengan tradisi teks yang sering kali dipakai sebagai sumber menjustifikasi
kebenaran. Metode semacam ini, membatasi wilayahnya
pada hal-hal yang telah diketahui secara umum, untuk kemudian digeneralisasi
dalam bentuk proposisi-propsisi yang menghasilkan kongklusi. Dalam pandangan
al-Jabiri, metode semacam ini biasanya lemah dalam menentukan sebuah sebuah
makna, karena makna (teks) sering kali keluar dari konteks (ahistoris). Dalam tradisi masyarakat muslim, metode ini memuncak
pada zaman pengkodifikasian ilmu pengetahuan dalam Islam, disekitar pertengahan
abad II hijriah. Selanjutnya dinamika pengetahuan Islam, mengalami sebuah
stagnasi metodologis, hingga kemunculan metodologi alternatif dari berbagai
sumber-sumber non-muslim, meski pun kemudian hanya bermain di wilayah pinggiran
saja.
Ciri metode bayani ini,
dapat dilihat dari apa yang disebut oleh Adnin Armas, sebagai metode ilmu
pengetahuan dalam Islam yang bersumber dari wahyu (teks), dengan
saluran-saluran sebagai berikut:
1. Panca indera (hawas): Panca indera eksternal: sentuhan (touch),
penciuman (smell), rasa (taste), penglihatan (sight) dan
pendengaran (hearing). Panca indera internal: akal sehat (common
sense), representasi (representation), estimasi (estimation), retensi(retention),
rekoleksi (recollection) dan khayalan (imagination).
2. Riwayat benar (khabar sadiq) berdasar kepada otoritas (naql):
otoritas mutlak (absolute authority), otoritas Tuhan (divine
authority) seperti Alqur’an, otoritas kenabian (prophetic authority),
yaitu Nabi.
3. Otoritas relatif
4. Ijma para ulama (tawatur)
5. Riwayat orang-orang yang amanah secara umum
6. Intelek (aql)
7. Akal sehat (ratio)
8. Intuisi (hads, wijdan).
Saluran-saluran
pengetahuan demikan nampaknya belum memadai untuk melegitimasi sebuah kehadiran
ilmu pengetahuan secara sempurna. Karena apa yang dimaksudkan barulah terjadi
pada tahap interpretasi teks semata. Pada metode semacam ini,
akal dipandang tidak dapat memberi pengetahuan dan mengambil
keputusan kecuali didasarkan pada teks Alquran. Dengan demikian, sumber
pengetahuan bayani adalah teks (nas) dan yang dimaksud nas
adalah teks Alquran dan Hadis.
Paham teologi jabariah
lahir dan berkembang atas dasar epistemologi bayani, fakta demikian dapat
dilihat dari argument-argumen teks yang dibangun atasnya. Meskipun di
antara teks tersebut terdapat makna yang mengarah pada arti qadariah namun
konsekwensi nalar bayani yang terlanjur lekat dalam struktur berfikir bangsa
Arab telah mengabaikan unsure lain di luar teks hingga ungkapan teks secara
pasti akan mendukung kemahamutlakan Tuhan terhadap manusia (semua ciptaanNya).
Dengan pendekatan nalar
bayani unsure kemutlakan Tuhan serasa sangat dominan dalam keseluruhan teks
Alquran. Dengan demikian jastifikasi paham jabariah tidak dapat dipungkiri
didukung penuh oleh nalar bayani bangsa Arab di masa tersebut. Pengaruh lingkungan
seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution bukanlah sebab utama mengapa paham
jabariah itu muncul kepermukaan. Boleh jadi hal tersebut sama sekali tidak
mempengaruhi lahirnya paham ini.
Nalar bayani telah
membentuk konsepsi paham jabariah secara mendalam. Pendekatan skipturalis
berlaku mutlak dalam memahami kehendak bebas mutlak Tuhan. Hingga tema-tema
teologis mengenai kebebasan, kehendak, perbuatan, takdir, nilai baik dan buruk
hingga pengenalan manusia dengan Tuhan hanya bisa dipahami berdasarkan keterangan
teks. Pendekatan lain tidak memungkinkan dikarenakan realitas ditundukkan di
bawah otoritas teks. Dengan demikian paham ini mengabaikan hukum kausalitas dan
dimensi lain di luar teks. Jabariah beranggapan bahwa segala hal yang terjadi
tidak memerlukan hukum sebab akibat tetapi langsung terjadi begitu saja
bedasarkan kewenangan Tuhan.
Gambaran demikian
semakin mengukuhkan kemapanan paham jabariah yang wacananya diproduksi
berdasarkan pendekatan bayani. Hal ini menutupi kemungkinan pendekatan lain, selain
cara bayani tersebut. Sehingga dengan mudah klaim-klaim teologi yang muncul
dari paham ini mengikuti alur teks dalam Alquran maupun hadist secara tekstual.
Pendekatan sejarah dalam formulasi tersebut kelihatannya diabaikan.
Hingga kini paham
jabariah sebagai salah satu paham teologi dalam Islam mengalami stagnasi wacana
dan hampir dipastikan tidak ada pengetahuan baru atas konsepsi teologinya. Yang
ada adalah wacana teologi yang diproduksi terus-menerus secara berulang-ulang.
1. Pemimpin Penganut Jabariyah
a. Ja'd Bin Dirham
Ia adalah seorang hamba
dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur
Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri.
Pendapat-pendapatnya :
Tidak pernah Allah
berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Alqur'an surat An-Nisa
ayat 164. Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya
menurut ayat 125 dari surat An-Nisa.
b. Jahm bin ShafwanIa
Berasal dari Persia dan
meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwa dengan Bani Ummayad.
Pendapat-pendapatnya:
Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya
tercapai dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan
yang jahat hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan
kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan
tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.
Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka.
Oleh sebab itu iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan
dan karya. Maka tidaklah ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya
dalam bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka sedangkan
pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.
Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu
mungkin diberikan pula kepada manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam
sifat-sifat itu. Maka Allah tidak diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu
yang hidpu atau alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab manusia
memiliki sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi boleh Allah disifatkan
dengan Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat
itu hanya tertentu untuk Allah semata dan tidak dapatdimiliki oleh manusia.
2. Ciri - Ciri Ajaran Jabariyah
Diantara ciri-ciri
ajaran Jabariyah adalah :
a. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun,
setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata
yangmenentukannya. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelumterjadi.
b. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
c. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
d. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
e. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah
bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
f. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
g. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.
h. Qadha dan Qadar Serta Makna Takdir Allah Menurut Jabariyah.
3. Ajaran-ajaran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan
pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak
mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan
pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan
sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan
yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau
membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh
kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai
keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan
juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak. Aliran ini
dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah
adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan
kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti
berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa
manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan,
tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah.
Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan
kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam
perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai
bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang
yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi
manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti
ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di
akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa
Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan
oleh dua pihak.
BAB III
KESIMPULAN
Demikianlah
pembahasan aliran-aliran awal dalam pemikiran ilmu kalam, yakni Aliran Khawarij
dan Murji’ah. Sebenarnya, kedua aliran ini pada awal kemunculannya lebih
bercorak aliran politis. Namun, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pemikirannya,
kedua aliran ini menjadi aliran teologis. Atau boleh dikatakan, bahwa kedua
aliran ini merupakan aliran politis sekaligus aliran teologis.
Konsepsi paham jabariah menempatkan manusia pada posisi menerima segala
kehendaknya sebagai kehendak kemutlakan Tuhan. Hal ini dapat dipahami
berdasarkan cara paham teologi ini memproduksi klaim teologinya.
Konsepsi paham qadariyah menempatkan manusia sebagai mahluk bebas
dalam berkehendak. Paham ini menggunakan akal (di luar teks sebagai cara
memperoleh pengetahuan tentang kebebasan itu).
peran dua teologi ini dalam dunia Islam masa kini tidak maksimal
dikarenakan pada umumnya wacana teologi Islam tidak bersentuhan langsung dengan
konteks massa muslim dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, harun, 2010. Theologi Islam: aliran-aliran sejarah analisa
perbandingan, edisi kelima, UII
Press, Jakarta.
Ahamad, Muhammad, 1998. Tauhid – Ilmu Kalam, edisi pertama, Pustaka
Setia, Bandung.
Mu’in, Abdul, 1986. Ilmu Kalam, edisi kedelapan, Widjaya, Jakarta.
Zainuddin, 1996. Ilmu Tauhid Lengkap, edisi kedua, Rineka Cipta, Jakarta.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, 1985. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam,
edisi pertama, Bulan Bintang, Jakarta.