PANDANGAN
ABDULLAH AHMAD AN-NA’IM TENTANG NASKH-MANSUKH
oleh: H. Afifuddin
Persoalan
naskh yang menjadi fokus pehatian dan
pembahasan an-Na’im adalah naskh yang
di artikan hukumnya yang dihapus tetapi teksnya tetap (naskh al-hukm wa baqa’ at-tilawah). An-Na’im mengajukan
ketidaksepakatannya jika naskh
diartikan sebagai penghapusan sebagaimana pendapat beberapa ulama, di mana
argumentasinya didasarkan pada dua hal, pertama,
jika penghapusan diartikan secara permanen, maka teks-teks yang telah
diturunkan menjadi sia-sia. Kedua,
mengartikan naskh secara pemanen
berarti membiarkan umat Islam menolak bagian dari ajaran agama mereka.
An-Na’im
menyatakan signifikansi naskh
terletak pada pentingnya memperlakukan (teks-teks) al-Qur’an secara relevan
untuk menuju pembaruan ajaran Islam yang komprehensif. Dengan begitu,
signifikansi terpentingnya, menurutnya, adalah terletak pada keharusan untuk
memperlakukan dan menafsirkan al-Qur’an secara memadai agar dapat memberikan
jawaban Islam yang relevan terhadap berbagai persoalan kemanusiaan yang muncul,
dalam rangka membangun kehidupan modern.
Pandangan
an-Na’im bahwa adanya keharusan yang mendesak untuk menilik ulang penerapan
prinsip-prinsip dan teknik-teknik naskh
yang dianut selama ini, demi tercapainya tingkat pembaruan yang memadai. Selain
itu, secara umum an-Na’im menilai bahwa pemahaman dan implementasi
ajaran-ajaran Islam telah dipengaruhi oleh realitas sosial umat Muslim, pada
konteks mereka masing-masing. Oleh karena itu, berhubung situasi dan kondisi
(konteks sosial) umat Islam dewasa ini berbeda dengan masa awal, maka pemahaman
dan penafsiran kembali pesan-pesan al-Qur’an dan sunnah merupakan hal yang
wajar, bahkan suatu keharusan bagi umat Islam sekarang. Dalam konteks inilah,
bagi an-Na’im, perlunya mempertimbangkan kembali penerapan teori naskh.
Dengan
begitu, an-Na’im menawarkan pembalikkan prinsip naskh yang dipegangi selama ini. Yaitu, dengan mengefektifkan
kembali prinsip-prinsip ajaran Islam yang terdapat pada ayat-ayat Makkiyyah yang dulu dalam teori naskh klasik dinyatakan telah dihapus (mansukh) oleh ayat-ayat Madaniyyah yang turun belakangan.
An-Na’im
membedakan secara tegas antara isi pesan dari ayat-ayat al-Qur’an yang
diwahyukan selama periode Mekkah dan ayat-ayat periode Madinah. Ayat-ayat fase
Makkah ini mengandung esensi universalisme Islam dan memiliki kandungan makna
yang abadi. Sedangkan pesan-pesan Madaniyyah
menunjukkan hal berbeda, di mana pesan tersebut secara jelas mewajibkan dan
bahkan di bawah kondisi tertentu untuk menggunakan kekerasan guna memaksa orang
kafir memeluk Islam atau memilih salah satu kemungkinan yang disediakan
syari’ah, seperti hukuman mati, perbudakan, diskriminasi terhadap perempuan dan non-Muslim atau
berbagai konsekuensi lainnya yang tidak menyenangkan.
Terkait
dengan itu, an-Na’im memandang bahwa ajaran Islam historis (syari’ah), di
samping berdiri di atas landasan ayat-ayat Madaniyyah,
juga tindakan Nabi sebagai penguasa Madinah. Sehingga hal tersebut, menurutnya,
menimbulkan kensekuensi hilangnya pesan universal al-Qur’an yang didasarkan
pada ayat-ayat Makkiyyah, digantikan
pesan-pesan Madaniyyah yang lebih
spesifik menyangkut kehidupan praktis umat Muslim.
Pada
titik ini, an-Na’im sebenarnya ingin menegaskan bahwa penggunaan prinsip naskh selama ini cukup problematis,
terutama karena menghilangkan pesan-pesan universal-fundamental Islam yang
terdapat pada ayat-ayat Makkiyyah.
Sehingga yang terjadi adalah bahwa penggunaan prinsip naskh oleh para ahli hukum perintis itu justru untuk melegalkan
kekerasan terhadap non-Muslim dan Muslim yang murtad. Mereka menganggap bahwa
ayat-ayat yang memberikan kebebasan untuk memilih agama dan menyampaikan dakwah
secara damai, telah dihapus atau diganti oleh ayat-ayat yang mensahkan
pemaksaan dan penggunaan kekerasan.
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa an-Na’im tidak sepakat dengan adanya
penghapusan terhadap teks-teks al-Qur’an.
Menurut
an-Na’im umat Islam harus mengubah prinsip perundang-undangan Islam dengan
perpindahan dari satu teks al-Qur’an ke teks yang lain, dari teks yang sesuai
untuk mengatur dan diimplementasikan pada abad ketujuh, kepada teks yang pada
waktu itu, terlalu maju dan oleh karena itu harus dihapuskan dalam
istilah-istilah hukum yang efektif. Inilah yang menurutnya merupakan suatu
evolusi ajaran Islam (syari’ah). Sehingga an-Na’im menyebut pendekatan naskhnya ini sebagai sebuah pendekatan
evolusioner.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar