Rabu, 16 November 2011

PANDANGAN ABDULLAH AHMAD AN-NA’IM TENTANG NASKH-MANSUKH


PANDANGAN ABDULLAH AHMAD AN-NA’IM TENTANG NASKH-MANSUKH
oleh: H. Afifuddin
Persoalan naskh yang menjadi fokus pehatian dan pembahasan an-Na’im adalah naskh yang di artikan hukumnya yang dihapus tetapi teksnya tetap (naskh al-hukm wa baqa’ at-tilawah). An-Na’im mengajukan ketidaksepakatannya jika naskh diartikan sebagai penghapusan sebagaimana pendapat beberapa ulama, di mana argumentasinya didasarkan pada dua hal, pertama, jika penghapusan diartikan secara permanen, maka teks-teks yang telah diturunkan menjadi sia-sia. Kedua, mengartikan naskh secara pemanen berarti membiarkan umat Islam menolak bagian dari ajaran agama mereka.
An-Na’im menyatakan signifikansi naskh terletak pada pentingnya memperlakukan (teks-teks) al-Qur’an secara relevan untuk menuju pembaruan ajaran Islam yang komprehensif. Dengan begitu, signifikansi terpentingnya, menurutnya, adalah terletak pada keharusan untuk memperlakukan dan menafsirkan al-Qur’an secara memadai agar dapat memberikan jawaban Islam yang relevan terhadap berbagai persoalan kemanusiaan yang muncul, dalam rangka membangun kehidupan modern.
Pandangan an-Na’im bahwa adanya keharusan yang mendesak untuk menilik ulang penerapan prinsip-prinsip dan teknik-teknik naskh yang dianut selama ini, demi tercapainya tingkat pembaruan yang memadai. Selain itu, secara umum an-Na’im menilai bahwa pemahaman dan implementasi ajaran-ajaran Islam telah dipengaruhi oleh realitas sosial umat Muslim, pada konteks mereka masing-masing. Oleh karena itu, berhubung situasi dan kondisi (konteks sosial) umat Islam dewasa ini berbeda dengan masa awal, maka pemahaman dan penafsiran kembali pesan-pesan al-Qur’an dan sunnah merupakan hal yang wajar, bahkan suatu keharusan bagi umat Islam sekarang. Dalam konteks inilah, bagi an-Na’im, perlunya mempertimbangkan kembali penerapan teori naskh.
Dengan begitu, an-Na’im menawarkan pembalikkan prinsip naskh yang dipegangi selama ini. Yaitu, dengan mengefektifkan kembali prinsip-prinsip ajaran Islam yang terdapat pada ayat-ayat Makkiyyah yang dulu dalam teori naskh klasik dinyatakan telah dihapus (mansukh) oleh ayat-ayat Madaniyyah yang turun belakangan.
An-Na’im membedakan secara tegas antara isi pesan dari ayat-ayat al-Qur’an yang diwahyukan selama periode Mekkah dan ayat-ayat periode Madinah. Ayat-ayat fase Makkah ini mengandung esensi universalisme Islam dan memiliki kandungan makna yang abadi. Sedangkan pesan-pesan Madaniyyah menunjukkan hal berbeda, di mana pesan tersebut secara jelas mewajibkan dan bahkan di bawah kondisi tertentu untuk menggunakan kekerasan guna memaksa orang kafir memeluk Islam atau memilih salah satu kemungkinan yang disediakan syari’ah, seperti hukuman mati, perbudakan, diskriminasi  terhadap perempuan dan non-Muslim atau berbagai konsekuensi lainnya yang tidak menyenangkan.
Terkait dengan itu, an-Na’im memandang bahwa ajaran Islam historis (syari’ah), di samping berdiri di atas landasan ayat-ayat Madaniyyah, juga tindakan Nabi sebagai penguasa Madinah. Sehingga hal tersebut, menurutnya, menimbulkan kensekuensi hilangnya pesan universal al-Qur’an yang didasarkan pada ayat-ayat Makkiyyah, digantikan pesan-pesan Madaniyyah yang lebih spesifik menyangkut kehidupan praktis umat Muslim.
Pada titik ini, an-Na’im sebenarnya ingin menegaskan bahwa penggunaan prinsip naskh selama ini cukup problematis, terutama karena menghilangkan pesan-pesan universal-fundamental Islam yang terdapat pada ayat-ayat Makkiyyah. Sehingga yang terjadi adalah bahwa penggunaan prinsip naskh oleh para ahli hukum perintis itu justru untuk melegalkan kekerasan terhadap non-Muslim dan Muslim yang murtad. Mereka menganggap bahwa ayat-ayat yang memberikan kebebasan untuk memilih agama dan menyampaikan dakwah secara damai, telah dihapus atau diganti oleh ayat-ayat yang mensahkan pemaksaan dan penggunaan kekerasan.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa an-Na’im tidak sepakat dengan adanya penghapusan terhadap teks-teks al-Qur’an.
Menurut an-Na’im umat Islam harus mengubah prinsip perundang-undangan Islam dengan perpindahan dari satu teks al-Qur’an ke teks yang lain, dari teks yang sesuai untuk mengatur dan diimplementasikan pada abad ketujuh, kepada teks yang pada waktu itu, terlalu maju dan oleh karena itu harus dihapuskan dalam istilah-istilah hukum yang efektif. Inilah yang menurutnya merupakan suatu evolusi ajaran Islam (syari’ah). Sehingga an-Na’im menyebut pendekatan naskhnya ini sebagai sebuah pendekatan evolusioner.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar