Rabu, 16 November 2011

PANDANGAN ABDULLAH AHMAD AN-NA’IM TENTANG NASKH-MANSUKH


PANDANGAN ABDULLAH AHMAD AN-NA’IM TENTANG NASKH-MANSUKH
oleh: H. Afifuddin
Persoalan naskh yang menjadi fokus pehatian dan pembahasan an-Na’im adalah naskh yang di artikan hukumnya yang dihapus tetapi teksnya tetap (naskh al-hukm wa baqa’ at-tilawah). An-Na’im mengajukan ketidaksepakatannya jika naskh diartikan sebagai penghapusan sebagaimana pendapat beberapa ulama, di mana argumentasinya didasarkan pada dua hal, pertama, jika penghapusan diartikan secara permanen, maka teks-teks yang telah diturunkan menjadi sia-sia. Kedua, mengartikan naskh secara pemanen berarti membiarkan umat Islam menolak bagian dari ajaran agama mereka.
An-Na’im menyatakan signifikansi naskh terletak pada pentingnya memperlakukan (teks-teks) al-Qur’an secara relevan untuk menuju pembaruan ajaran Islam yang komprehensif. Dengan begitu, signifikansi terpentingnya, menurutnya, adalah terletak pada keharusan untuk memperlakukan dan menafsirkan al-Qur’an secara memadai agar dapat memberikan jawaban Islam yang relevan terhadap berbagai persoalan kemanusiaan yang muncul, dalam rangka membangun kehidupan modern.
Pandangan an-Na’im bahwa adanya keharusan yang mendesak untuk menilik ulang penerapan prinsip-prinsip dan teknik-teknik naskh yang dianut selama ini, demi tercapainya tingkat pembaruan yang memadai. Selain itu, secara umum an-Na’im menilai bahwa pemahaman dan implementasi ajaran-ajaran Islam telah dipengaruhi oleh realitas sosial umat Muslim, pada konteks mereka masing-masing. Oleh karena itu, berhubung situasi dan kondisi (konteks sosial) umat Islam dewasa ini berbeda dengan masa awal, maka pemahaman dan penafsiran kembali pesan-pesan al-Qur’an dan sunnah merupakan hal yang wajar, bahkan suatu keharusan bagi umat Islam sekarang. Dalam konteks inilah, bagi an-Na’im, perlunya mempertimbangkan kembali penerapan teori naskh.
Dengan begitu, an-Na’im menawarkan pembalikkan prinsip naskh yang dipegangi selama ini. Yaitu, dengan mengefektifkan kembali prinsip-prinsip ajaran Islam yang terdapat pada ayat-ayat Makkiyyah yang dulu dalam teori naskh klasik dinyatakan telah dihapus (mansukh) oleh ayat-ayat Madaniyyah yang turun belakangan.
An-Na’im membedakan secara tegas antara isi pesan dari ayat-ayat al-Qur’an yang diwahyukan selama periode Mekkah dan ayat-ayat periode Madinah. Ayat-ayat fase Makkah ini mengandung esensi universalisme Islam dan memiliki kandungan makna yang abadi. Sedangkan pesan-pesan Madaniyyah menunjukkan hal berbeda, di mana pesan tersebut secara jelas mewajibkan dan bahkan di bawah kondisi tertentu untuk menggunakan kekerasan guna memaksa orang kafir memeluk Islam atau memilih salah satu kemungkinan yang disediakan syari’ah, seperti hukuman mati, perbudakan, diskriminasi  terhadap perempuan dan non-Muslim atau berbagai konsekuensi lainnya yang tidak menyenangkan.
Terkait dengan itu, an-Na’im memandang bahwa ajaran Islam historis (syari’ah), di samping berdiri di atas landasan ayat-ayat Madaniyyah, juga tindakan Nabi sebagai penguasa Madinah. Sehingga hal tersebut, menurutnya, menimbulkan kensekuensi hilangnya pesan universal al-Qur’an yang didasarkan pada ayat-ayat Makkiyyah, digantikan pesan-pesan Madaniyyah yang lebih spesifik menyangkut kehidupan praktis umat Muslim.
Pada titik ini, an-Na’im sebenarnya ingin menegaskan bahwa penggunaan prinsip naskh selama ini cukup problematis, terutama karena menghilangkan pesan-pesan universal-fundamental Islam yang terdapat pada ayat-ayat Makkiyyah. Sehingga yang terjadi adalah bahwa penggunaan prinsip naskh oleh para ahli hukum perintis itu justru untuk melegalkan kekerasan terhadap non-Muslim dan Muslim yang murtad. Mereka menganggap bahwa ayat-ayat yang memberikan kebebasan untuk memilih agama dan menyampaikan dakwah secara damai, telah dihapus atau diganti oleh ayat-ayat yang mensahkan pemaksaan dan penggunaan kekerasan.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa an-Na’im tidak sepakat dengan adanya penghapusan terhadap teks-teks al-Qur’an.
Menurut an-Na’im umat Islam harus mengubah prinsip perundang-undangan Islam dengan perpindahan dari satu teks al-Qur’an ke teks yang lain, dari teks yang sesuai untuk mengatur dan diimplementasikan pada abad ketujuh, kepada teks yang pada waktu itu, terlalu maju dan oleh karena itu harus dihapuskan dalam istilah-istilah hukum yang efektif. Inilah yang menurutnya merupakan suatu evolusi ajaran Islam (syari’ah). Sehingga an-Na’im menyebut pendekatan naskhnya ini sebagai sebuah pendekatan evolusioner.

ekonomi islam

http://www.4shared.com/file/d9cHi62t/ekonomi_islam.html?

ringkasan pengantar ekonomi

http://www.4shared.com/file/ZcL07ZRW/Microecs.html?

Selasa, 15 November 2011

EKONOMI ISLAM


Ekonomi Islam : Ekonomi Berbasis Moral!
Oleh: Muhammad Muhibbuddin, S.Ag.,SH., M.S.I

A.  Pendahuluan
Globalisasi ekonomi sebagai anak sah ekonomi kapitalis diyakini tidak mampu
memberikan kemakmuran bagi semua orang. Kenyataan ini lahir karena visi dasar dari
ekonomi kapitalis bukanlah kesejahteraan bersama melainkan penguasaan ekonomi oleh
para pemilik modal sehingga yang terjadi adalah yang kaya tambah kaya dan yang
miskin tambah miskin.
Fenomena kemiskinan yang terjadi di mana-mana tidak dapat dilepaskan dari
dampak ekonomi global yang bertumpu pada kelas pemodal yang memarginalkan kelas
pekerja (buruh). Telah terjadi demonstrasi dan penentangan terhadap ikon-ikon ekonomi
kapitalis tidak hannya di negara-negara berkembang tetapi juga di negara-negara  asal
munculnya ekonomi kapitalis. Ekonomi kapitalis dengan segala atribut dan turunan
sistemnya dipandang tidak mampu memberikan harapan bagi kemakmuran semua orang.
Berangkat dari kegagalan ekonomi kapitalis dalam memberikan kemakmuran bagi
semua orang adalah relevan untuk kemudian mengkaji sistem ekonomi Islam, dan untuk
mengelaborasi  sistem  ekonomi Islam, dalam  tulisan  ini akan dipaparkan  sistem dan
prinsip dasar ekonomi Islam  sebagai sistem ekonomi yang berbasis moral  dan  sebagai
kontribusi untuk kajian ekonomi Islam yang sedang berkembang di Indonesia  saat ini.
B. Sistem Dan Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Umar Chapra mencatat ada empat sistem ekonomi yang berkembang di dunia saat
ini yaitu kapitalisme, sosialisme,  negara kesejahteraan, dan ekonomi Islam. Sistem
ekonomi kapitalis memiliki lima ciri menonjol yaitu: 1.) Menganggap hal yang esensial 2
bagi kesejahteraan manusia adalah ekspansi kekayaan yang dipercepat dan produksi
yang maksimal serta pemenuhan  want  (keinginan) menurut preferensi individual. 2).
Kebebasan individu dan kepemilikan atau pengelolaan kekayaan pribadi merupakan hal
yang sangat penting bagi inisiatif individu. Setiap individu memiliki kebebasan dalam
mengelola hartanya tanpa hambatan. 3). Syarat utama dalam mewujudkan efisiensi
optimum alokasi sumber daya adalah inisiatif individual dan pengambilan keputusan
yang terdesentralisasi dalam pasar yang kompetitif. Kapitalisme mengakui kebebasan
ekonomi dan persaingan bebas. 4). Tidak mengakui pentingnya pemerintah atau peran
penilaian kolektif. 5) Pelayanan kepentingan diri pribadi oleh setiap individu secara
otomatis melayani kepentingan sosial secara umum.
1. Kelemahan sistem ekonomi kapitalis yang menonjol adalah bahwa dengan adanya
persaingan bebas yang tak terbatas menyebabkan banyak keburukan dalam masyarakat
seperti pengumpulan kekayaan secara berlebihan oleh beberapa individu menimbulkan
distribusi kekayaan tidak seimbang dalam masyarakat dan dapat menyebabkan rusaknya
sistem perekonomian. Persaingan bebas juga mengakibatkan munculnya  sikap
individualisme, mengorbankan kepentingan umum dan meniadakan semangat
persaudaraan, kerjasama dan saling membantu.
Sistem ekonomi sosialis memiliki tiga ciri utama yaitu: 1). Hak individu untuk
memiliki harta atau memanfaatkan produksi tidak diperbolehkan. Seluruh bentuk
produksi dan sumber pendapatan menjadi milik negara atau masyarakat keseluruhan.
Dengan demikian individu secara pribadi tidak mempunyai hak kepemilikan. 2). Setiap
individu disediakan kebutuhan hidup menurut keperluan masing-masing. Dengan kata lain hak-hak individu dalam suatu bidang ekonomi ditentukan oleh prinsip kesamaan. 3).Kebebasan ekonomi dan hak pemilikan harta dihapuskan sama sekali. Semua aturan
produksi dan distribusi diambil alih oleh Negara yang dikuasai oleh peraturan kaum
buruh.
2.Kelemahan paling menonjol dari ekonomi sosialis adalah bahwa adanya usaha
untuk mengubah ketidaksamaan kekayaan dengan menghapuskan hak kebebasan
individu dan hak terhadap pemilikan menyebabkan hilangnya semangat untuk bekerja,
menurunnya efisiensi kerja buruh, dan hilangya kebebasan individu dalam berfikir dan
bertindak.
3.Negara kesejahteraan memiliki tujuan untuk menghapuskan ekses-ekses
kapitalisme dan mengurangi daya tarik sosialisme. Ciri menonjol dari sistem ini adalah
kesejahteraan individu merupakan sasaran yang teramat penting yang realisasinya
diserahkan kepada operasi kekuatan-kekuatan pasar, pengakuan akan pentingya
kesempatan kerja dan dan pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan. Pada
kenyataannya negara kesejahteraan telah gagal menciptakan alokasi sumber-sumber daya
yang efisien dan adil, kemiskinan terus berlangsung bahkan kebutuhan pokok si miskin
belum dapat terpenuhi.
4.Kegagalan tiga sistem ekonomi di atas dalam mewujudkan kesejahteraan yang luas
bagi masyarakat  nampaknya  terkoreksi dengan adanya sistem ekonomi Islam. Islam
memiliki sistem ekonomi yang secara fundamental berbeda dari sistem ekonomi kapitalis, sosialis, dan negara kesejahteraan.  Sistem ekonomi Islam bukan sistem
ekonomi kapitalis, bukan sistem ekonomi sosialis dan juga buka sistem ekonomi negara
kesejahteraan.
5. Sistem ekonomi Islam memiliki ciri khas yang membedakannya dari
ketiga sistem ekonomi tersebut.
Sistem ekonomi Islam dan produk-produk perekonomian turunannya memberikan
kontribusi yang signifikan bagi perkembangan  ekonomi dunia. Meskipun ekonomi
Islam mempunyai akar sejarah pada pemikiran Islam awal/klasik namun pemikiran dan
ilmu ekonomi Islam tergolong relatif baru (atau dalam bahasa Ibnu Kholdun minal
‘ulum al-haditsah fi al-Islam).
6.Para pemikir dan pelaku ekonomi Islam hingga saat ini
terus mengembangkan teori-teori dan praktek ekonomi Islam yang digali dari sumbersumber ajaran Islam dengan mempertimbangan konteks dan realitas di lapangan.
7. Baik di Barat maupun di Timur telah berdiri pusat kajian ekonomi Islam, lembaga-lembaga
pendidikanpun berlomba-lomba menawarkan ilmu ekonomi Islam dengan membuka
fakultas dan jurusan ekonomi Islam atau setidaknya memperkenalkan mata kuliah
ekonomi atau perbankan Islam sebagai bagian kurikulum fakultas atau jurusan ekonomi mulai dari tingkat Strata Satu, Magister maupun Doktor.
Dalam sistem ekonomi Islam, ada sembilan prinsip dasar sistem ekonomi Islam
yaitu: 1). Kebebasan individu 2). Hak terhadap harta 3). Perbedaan ekonomi dalam batas
                                             
Dalam pelaksanaan ekonomi Islam prinsip-prinsip yang dijadikan dasar adalah
pertama, prinsip tidak diperbolehkan memakan harta orang lain secara batil. Surat alBaqarah ayat 188 menyatakan:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan batil, dan (janganlah) kamu membawa urusan itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(cara berbuat) dosa, padahal kamu menhgetahui.”
Kedua, prinsip saling ridha/rela (تراض) yaitu menghindari adanya pemaksaan yang
dapat menghilangkan hak pilih seseorang dalam praktek bisnis/muamlah. Dalam surat
an-Nisa’ ayat 29 disebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Ketiga, prinsip tidak mengandung praktek eksploitasi dan saling merugikan yang
membuat orang lain teraniaya. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 279:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak  menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.”
Dalam sebuah hadis disebutkan;
ا ضرر وا ضرار
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain”
Keempat, prinsip tidak mengandung unsur riba. Riba secara bahasa berarti azziyadah (tambahan). Sedangkan dalam istilah fiqh  ialah  tambahan atas modal baik
penambahan itu sedikit ataupun banyak. Dalam al-Qur’an secara kronologis
pengharaman riba dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, pada periode Makkah turun
firman Allah Surat ar-Rum ayat 39:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan supaya dia menambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.  Dan apa yang  kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya.
Kedua, pada periode Madinah turun surat Ali Imran ayat 130:
“ Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memekan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu dikasihi”

Dan yang terakhir diharamkannya riba secara konkrit dalam berbagai bentuknya
dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 275-278. Secara tegas disebutkan dalam surat alBaqarah ayat 275 bahwa Allah meghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
275. ”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.”
276.  ”Allah memusnahkan  riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai
Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
277.  ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”9
278. ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
Ayat-ayat dalam surat al-Baqarah tersebut merupakan ayat terakhir yang berkaitan
dengan masalah riba yang mengandung  penolakan terhadap anggapan bahwa riba tidak
haram kecuali jika berlipat ganda, oleh karena Allah tidak membolehkannya kecuali
mengembalikan modal pokok tanpa ada penambahan.
Kelima, prinsip tidak melakukan penipuan, sebagaimana dalam hadis Nabi
Muhammad SAW:
قال النبي صلي هللا عليه وسلم اذا بايعت فقل ا خابة
“Jika kamu melakukan transaksi jual beli maka katakanlah jangan kamu melakukan
penipuan”
Secara tegas hadis di atas menjelaskan tidak boleh ada unsur tipu menipu dalam praktek
jual beli (adapun  bentuk-bentuk muamalah lain dapat disamakan dengannya).
10
Marthon menyebutkan ada empat hal yang membedakan sistem ekonomi Islam
dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, yaitu: pertama, dialektika nilai-nilai
spiritualisme dan materialisme, kedua, kebebasan berekonomi, ketiga, dualisme
kepemilikan, dan keempat, menjaga kemaslahatan individu dan bersama.
11
C. PENUTUP
Ekonomi Islam dibangun atas dasar prinsip-prinsip moral yang digali dari ajaran
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.  Prinsip-prinsip ekonomi Islam  pada garis
                                             
10
Abd. Salam Arief, “Bisnis Kontemporer Dalam Perspektif Ushul Fiqh” dalam Riyanta, dkk,  Neo
Ushul Fiqh: Menuju Ijtihad Kontekstual (Yoagyakarta: Fakultas Syariah Press, 2004), hlm. 232-234
11
Mustafa Edwin Nasution, et. al.,  Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2006),
hlm. 30-3110
besarnya adalah  1). Kebebasan individu 2). Hak terhadap harta 3). Perbedaan ekonomi
dalam batas kewajaran 4). Kesamaan sosial 4). Jaminan sosial 5). Distribusi kekayaan
secara meluas 6). Larangan menumpuk harta kekayaan 7). Larangan terhadap organisasi
anti sosial 8). Kesejahteraan individu dan masyarakat 9). Tidak diperbolehkan memakan
harta orang lain secara batil 10). Saling ridha/rela (تراض) 11).  Tidak mengandung
praktek eksploitasi dan saling merugikan yang membuat orang lain teraniaya 12). Tidak
mengandung unsur riba 13). Tidak melakukan penipuan.
Wallahua’lam bis Showab.


NATUNA, 2011
Moh. Muhibuddin, S.Ag.,SH., MSI
Hakim Pada Pengadilan Agama Natuna
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Khursid (Ed.), Studies In Islamic Economics, Leicester: The Islamic Foundation,
1980.
Akh. Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh, dalam al-Jami’ah, No. 63/VI/1999.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta; Gema Insani
Press, 2005.
-----------, "Membangun Ekonomi Islam di Indonesia sebagai Post Capitalist Economy",
Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXI No. 245, April 2006.
-----------, "Bisnis dan Perbankan dalam Perspektif Hukum Islam",  Jurnal Al-Mawarid
Edisi VII, Februari 1999.
Carson,  Richard L.,  Comparative Economic System, New York: M. E. Sharpe, Inc,
1990.
Chapra, M. Umer,  Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin Basri, Jakarta:
Gema Insani Press, 2000. 11
Dewi, Gemala, et. al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
Irfan Ul Haq,  Economic Doctrines of Islam, Herndon: The International Institute of
Islamic Thought, 1996.
Karim, Adiwarman A., Islamic Banking: Fiqh And Financial Analysis, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005.
Ka’bah, Rifyal, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Khairul Bayan, 2004.
Kamal, Mustafa (Ed.),  Wawasan Ekonomi Islam: sebuah bunga rampai, Jakarta:
Lembaga Penerbit FE UI, 1997.
Muhammad (Ed.), Bank Syari'ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman,
Yogyakarta: Ekonisia, 2004.
Nasution, Mustafa Edwin, et. al.,  Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta:
Kencana, 2006.
Rahman, Afzalur,  Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Riyanta, dkk,  Neo Ushul Fiqh: Menuju Ijtihad Kontekstual, Yogyakarta: Fakultas
Syariah Press, 2004.
Somantri, Nana M., “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Bank Syariah”,  Suara
Uldilag Vol. 3 No. IX, September 2006.
Wirdyaningsih, et. al., Bank Dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH


Sejarah Perkembangan Fiqh

Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sesebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
1.    Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2.    Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
3.    Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud mengikuti pola yang telah di tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi).
Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadits.
Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman.
Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi'in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.
4.    Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang Disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah
  1. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
     
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
    • Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
    • Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
    • Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab. 
  1. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
    Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
     
Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
    • Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
    • Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
    • Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
Periode pengkodifikasian fiqh. Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqh yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqh dari keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada periode ini.
  • Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang melandasi pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi. Atas dasar ini, pemerintah Turki Usmani meminta ulama untuk mengkodifikasikan fiqh dalam Mazhab Hanafi tersebut dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu.
  • Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata tersebut menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang berkaitan dengan hukum acara. Meluasnya pengkodifikasian hukum di bidang perekonomian dan perdagangan disebabkan karena meluasnya hubungan ekonomi dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Untuk itu, penguasaan terhadap hak milik yang ada di dalam negeri juga diatur, seperti pengadministrasian tanah-tanah rakyat dengan menetapkan berbagai peraturan yang menyangkut pemilikan tanah, serta penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara berperkara di pengadilan. Akibat yang ditimbulkan oleh pengkodifikasian hukum perdata di bidang perekonomian dan perdagangan ini adalah semakin jumudnya fiqh di tangan para fuqaha Hanafi yang datang belakangan (muta'akhkhirin) serta terhentinya upaya pembaruan hukum dan bahkan upaya pen-tarjih-an hukum.
  • Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab Maliki, Syafi 'i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan as-Sauri. Langkah yang ditempuh Kerajaan Turki Usmani ini pun diikuti oleh negara-negara Islam yang tidak tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani.Terdapat perbedaan pereodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer, diantaranya adalah menurut Muhammad Khudari Bek dan Mustafa Ahmad az-Zarqa pada masa Awal hingga periode keemasaannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-1201 H./1787 M.; pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan bid'ah yang harus dihindari, dan tidak satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi 'i dan Imam Ahmad bin Hanbali membolehkannya). Sejak saat itu, kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai mazhab, yang dikenal dengan istilah fiqh muqaran.
Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi'i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil.

Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat.



 By: AF.

HUKUM ASURANSI

PENDAHULUAN
           Seiring dengan perkembangan zaman saat ini, bermunculan berbagai bisnis asuransi dimana-mana. Kini orang sudah tak asing lagi dengan menjamurnya asuransi, antara asuransi yang satu dengan asuransi yang lain saling berlomba-lomba menawarkan produk-produk unggulan mereka dan sangat giat mencari klien. Meskipun sering mendengar bahkan sudah tidak asing lagi dengan kata Asuransi, namun kebanyakan orang masih belum paham tentang Asuransi, untuk itu dalam makalah ini akan kita bahas Hukum Asuransi.
·         Apa Dasar Hukum Asuransi?
·         Bagaimana Sejarah Asuransi di Indonesia?
·         Apa Tujuan dari Asuransi?
·         Kapan berlakunya asuransi?
·         Apa yang dimaksud dengan polis asuransi?
·         Apa sajakah jenis-jenis asuransi?
·         Bagaimana akibat hukum batalnya asuransi?


PEMBAHASAN
DASAR HUKUM ASURANSI
Menurut Ketentuan Pasal 246 KUHD, Asuransi atau Pertanggungan adalah Perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen (peristiwa tidak pasti).
Menurut Ketentuan Undang–undang No.2 tahun 1992 tertanggal 11 Pebruari 1992 tentang Usaha Perasuransian (“UU Asuransi”), Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Berdasarkan definisi tersebut di atas maka asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian dimana harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun dengan karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-untungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH Perdata.
Menurut Pasal 1774 KUH Perdata, “Suatu persetujuan untung–untungan (kans-overeenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu”.
Beberapa hal penting mengenai asuransi:
1.      Merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata;
2.      Perjanjian tersebut bersifat adhesif artinya isi perjanjian tersebut sudah ditentukan oleh Perusahaan Asuransi (kontrak standar). Namun demikian, hal ini tidak sejalan dengan ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
3.      Terdapat 2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan Tertanggung, namun dapat juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda pihak dengan yang akan menerima tanggungan;
4.      Adanya premi sebagai yang merupakan bukti bahwa Tertanggung setuju untuk diadakan perjanjian asuransi;
5.      Adanya perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah pihak terikat untuk melaksanakan kewajibannya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus ada pada Asuransi adalah:
1.      Subyek hukum (penanggung dan tertanggung);
2.      Persetujuan bebas antara penanggung dan tertanggung;
3.      Benda asuransi dan kepentingan tertanggung;
4.      Tujuan yang ingin dicapai;
5.      Resiko dan premi;
6.      Evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian;
7.      Syarat-syarat yang berlaku;
8.      Polis asuransi.

SEJARAH ASURANSI DI INDONESIA
Bisnis asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita pada waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai akibat berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya.
Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak diperlukan. Dengan demikian usaha pera.suransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan. Pada waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun, hampir tidak mencatat sejarah perkembangan. Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Hindia Belanda pada zaman penjajahan itu adalah :
1.      Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda.
2.      Perusahaan-perusahaan yang merupakan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan di negeri lainnya.
Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan asuransi kerugian di Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa lainnya. Manfaat dan peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat pribumi.
Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan. Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran, karena jumlah kendaraan bermotor masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa Belanda dan Bangsa Asing lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan asuransi kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya pemsahaan- perusahaan asuransi milik Belanda dan Inggris.
TUJUAN ASURANSI
a. Pengalihan Risiko
Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung.
b. Pembayaran Ganti Kerugian
Jika suatu ketika sungguh–sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam prakteknya kerugian yang timbul itu dapat bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh–sungguh diderita.
Dalam pembayaran ganti kerugian oleh perusahaan asuransi berlaku prinsip subrogasi (diatur dalam pasal 1400 KUH Per) dimana penggantian hak si berpiutang (tertanggung) oleh seorang pihak ketiga (penanggung/pihak asuransi) – yang membayar kepada si berpiutang (nilai klaim asuransi) – terjadi baik karena persetujuan maupun karena undang-undang.

BERLAKUNYA ASURANSI
Hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat ditutupnya asuransi walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya dibuktikan dengan disetujuinya aplikasi atau ditandatanganinya kontrak sementara (cover note) dan dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, penanggung atau perusahaan asuransi wajib menerbitkan polis asuransi (Pasal 255 KUHD).

POLIS ASURANSI
1. Fungsi Polis
Menurut ketentuan pasal 225 KUHD perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis yang memuat kesepakatan, syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban para pihak (penanggung dan tertanggung) dalam mencapai tujuan asuransi. Dengan demikian, polismerupakan alat bukti tertulis tentang telah terjadinya perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung.
Mengingat fungsinya sebagai alat bukti tertulis maka para pihak (khususnya Tertanggung) wajib memperhatikan kejelasan isi polis dimana sebaiknya tidak mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga dapat menimbulkan perselisihan (dispute).

2. Isi Polis
Menurut ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat khusus berikut ini:
a        Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;
b        Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga;
c         Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;
d        Jumlah yang diasuransikan (nilai pertanggungan);
e         Bahaya-bahaya/ evenemen yang ditanggung oleh penanggung;
f           Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung;
g        Premi asuransi;
h        Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala janji-janji khusus yang diadakan antara para pihak, antara lain mencantumkan BANKER’S CLAUSE, jika terjadi peristiwa (evenemen) yang menimbulkan kerugian penanggung dapat berhadapan dengan siapa pemilik atau pemegang hak.
Untuk jenis asuransi kebakaran Pasal 287 KUHD menentukan bahwa di dalam polisnya harus pula menyebutkan:
1.      Letak barang tetap serta batas-batasnya;
2.      Pemakaiannya;
3.      Sifat dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sepanjang berpengaruh terhadap obyek pertanggungan;
4.      Harga barang-barang yang dipertanggungkan;
5.      Letak dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat dimana barang-barang bergerak yang dipertanggungkan itu berada.
Untuk mengetahui perlindungan yang diberikan oleh suatu polis asuransi, perlu diperhatikan tujuh aspek penutupannya, yaitu:
1.      Bencana yang ditutup;
2.      Yang ditutup;
3.      Kerugian yang ditutup;
4.      Orang-orang yang ditutup;
5.      Lokasi-lokasi yang ditutup;
6.      Jangka waktu yang ditutup;
7.      Bahaya-bahaya yang dikecualikan.

3. Jenis Klausula Asuransi
Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang dirumuskan secara tegas dalam polis, yang lazim disebut Klausula asuransi yang maksudnya untuk mengetahui batas tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Jenis-jenis asuransi tersebut ditentukan oleh sifat objek asuransi itu, bahaya yang mengancam dalam setiap asuransi. Klausula-klausula yang dimaksud antara lain:
a.   Klausula Premier Risque
Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi dibawah nilai benda terjadi kerugian, penanggung akan membayar ganti kerugian seluruhnya sampai maksimum jumlah yang diasuransikan (Pasal 253 ayat 3 KUHD). Klausula ini biasa digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian, asuransi tanggung jawab.

b.   Klausula All Risk
Klausula ini menentukan bahwa penanggung memikul segala resiko atau benda yang diasuransikan. ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian yang timbul akibat peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat sendiri bendanya (Pasal 249 KUHD).

 c. Klausula Total Loss Only (TLO)
Klausula ini menentukan bahwa penanggung hanya  menanggung kerugian yang merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.
d. Klausula Sudah Diketahui (All Seen)
Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran. Klausula ini menentukan bahwa penanggung sudah mengetahui keadaan, konstruksi, letak dan cara pemakaian bangunan yang diasuransikan.
e. Klausula Renunsiasi (Renunciation)
Menurut Klausula penanggung tidak akan menggugat tertanggung, dengan alasan pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus diberlakuan secara jujur atau itikad baik dan sesuai dengan kebiasaan. berarti apabila timbul kerugian akibatevenemen tertanggung tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi kepada penanggung, maka penanggung tidak akan mengajukan pasal 251 KUHD dan penanggung akan membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung.

f. Klausula Free Particular Average (FPA)
Bahwa penaggung dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (Particular Average) seperti ditentukan dalam pasal 709 KUHD dengan kata lain penanggung menolak pembayaran ganti kerugian yang diklaim oleh tertanggung yang sebenarnya timbul dari akibat peristiwa khusus yang sudah dibebaskan klausula FPA.

g. Klausula Riot, Strike & Civil Commotion (RSCC)
Riot (kerusuhan) adalah tindakan suatu kelompok orang, minimal sebanyak 12 orang, yang dalam melaksanakan suatu tujuan bersama menimbulkan suasana gangguan ketertiban umum dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta pengrusakan harta benda orang lain, yang belum dianggap sebagai huru-hara.
Strike (pemogokan) adalah tindakan pengrusakan yang disengaja oleh sekelompok pekerja, minimal 12 orang pekerja atau separuh dari jumlah pekerja (dalam hal jumlah seluruh pekerja kurang dari 24 orang),yang menolak bekerja sebagaimana biasanya dalam usaha untuk memaksa majikan memenuhi tuntutan dari pekerja atau dalam melakukan protes terhadap peraturan atau persyaratan kerja yang diberlakukan oleh majikan.
Civil Commotion (huru-hara) adalah keadaan di suatu kota dimana sejumlah besar massa secara bersama-sama atau dalam kelompok-kelompok kecil menimbulkan suasana gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta rentetan pengrusakan sejumlah besar harta benda, sedemikian rupa sehingga timbul ketakutan umum, yang ditandai dengan terhentinya lebih dari separuh kegiatan normal pusat perdagangan/pertokoan atau perkantoran atau sekolah atau transportasi umum di kota tersebut selama minimal 24 jam secara terus menerus yang dimulai sebelum, selama atau setelah kejadian tersebut.

JENIS – JENIS ASURANSI
Asuransi pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa.
1. Asuransi Kerugian terdiri dari:
a        Asuransi Kebakaran;
b        Asuransi Kehilangan dan Kerusakan;
c         Asuransi laut;
d        Asuransi Pengangkutan;
e        Asuransi Kredit.
2. Asuransi Jiwa terdiri dari:
a        Asuransi Kecelakaan;
b        Asuransi Kesehatan;
c          Asuransi Jiwa Kredit.

BATALNYA AURANSI DAN SANKSI
Suatu   pertanggungan atau asuransi karena pada hakekatnya adalah merupakan suatu perjanjian maka ia dapat pula diancam dengan resiko batal atau dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat syahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Selain itu KUHD mengatur tentang ancaman batal apabila dalam perjanjian asuransi:
1.      Memuat keterangan yang keliru atau tidak benar atau bila tertanggung tidak memberitahukan hal-hal yang diketahuinya sehingga apabila hal itu disampaikan kepada penanggung akan berakibat tidak ditutupnya perjanjian asuransi tersebut (Pasal 251 KUHD);
2.      Memuat suatu kerugian yang sudah ada sebelum perjanjian asuransi ditandatangani (Pasal 269 KUHD);
3.      memuat ketentuan bahwa tertanggung dengan pemberitahuan melalui  pengadilan membebaskan si penanggung dari segala kewajibannya yang akan datang (Pasal 272 KUHD);
4.      Terdapat suatu akalan cerdik, penipuan, atau kecurangan si tertanggung (Pasal 282 KUHD);
5.      Apabila obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak boleh diperdagangkan dan atas sebuah kapal baik kapal Indonesia atau kapal asing yang digunakan untuk mengangkut obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak boleh diperdagangkan (Pasal 599 KUHD).

SANKSI
Terhadap pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan Tetanggung dapat dikenakan sanksi berupa:
1.      Sanksi Administratif, (berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan pada tertanggung); dan
2.      Sanksi Pidana.

1. Sanksi Administratif
Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”) serta peraturan pelaksanaannya yang berkenaan dengan:
1.      Perizinan usaha;
2.      Kesehatan keuangan;
3.      Penyelenggaraan usaha;
4.      Penyampaian laporan;
5.      Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan langsung;
dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan sanksi pencabutan izin usaha (Pasal 37 PP No.73/1992).
Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 37, maka terhadap:
1.      Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif Rp. 1.000.000.000 (satu juta Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan;
2.      Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dikenakan denda administratif Rp. 500.000 (lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan (Pasal 38 PP No.73/1992).

2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur dalam Pasal 21 UU Asuransi, berikut ini:
a. Terhadap pelaku utama
Orang yang menjalankan atu menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa izin usaha, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta Rupiah).
b. Terhadap pelaku pembantu
Orang yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan atau menjual kembali kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut yang diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang–barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, dianjam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta Rupiah).
c. Terhadap pemalsu dokumen
Orang yang secara sendiri–sendiri atau bersama–sama melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta Rupiah). 
KESIMPULAN
Setelah menetahui asuransi lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga unsur pokok dalam asuransi yakni: Penanggung yaitu pihak yang berjanji membayar jika peristiwa pada unsur ke tiga terlaksana, kemudian tertanggung yaitu pihak yang berjanji membayar uang kepada pihak penanggung dan yang terakhir suatu peristiwa belum tentu akan terjadi (evenement).
SARAN
Di Indonesia sendiri, asuransi sering disamakan dengan perjudian. Padahal hakikatnya antara asuransi dan perjudian itu beda. Kepentingan dalam asuransi adalah karena adanya peristiwa tak tentu itu untuk tidak terjadi, di luar/sebelum ditutup perjanjian. Sedangkan perjudian kepentingan atas peristiwa tidak tentu itu baru ada pada kedua belah pihak dengan diadakannya perjudia / pertaruhan.  Mungkin dalam kinerja dari perusahaan asuransi harus dikaji ulang agar tidak ada pandangan - pandangan yang seperti ini lagi di kedepannya.