Sejarah Perkembangan Fiqh
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh
kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi
fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang
dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sesebenarya bisa dibagi dalam dua
periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi
menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
1.
Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11
H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di
tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi
SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan
hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2.
Periode al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu
Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh
pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan
munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan
yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini,
khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad
sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang
muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin
kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan
budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
3.
Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa
ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga
ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu
dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa
al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah,
33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara
satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
daerah tersebut.
Di irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud mengikuti pola yang telah di tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi).
Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadits.
Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman.
Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi'in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.
Di irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud mengikuti pola yang telah di tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi).
Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadits.
Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman.
Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi'in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.
4.
Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H.
Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama
(700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode
ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai
pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak
saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan
umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang Disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang Disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
- Periode
tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini
dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang
dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan
ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas
pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat
ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada
hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing,
sehingga mujtahid
mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada
ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip
mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus
sebagai mujtahid fi
al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip
yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani
melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi
(sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha
untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa
mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa
pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang
mendorong munculnya pernyataan tersebut.
- Dorongan para
penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di
pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui
khalifah saja.
- Munculnya
sikap at-taassub
al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan
(kebekuan berpikir) dan taqlid
(mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid
imam mazhab.
- Munculnya
gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang
untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan
bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama
mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan
oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai
persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini
muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang
benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut
mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan
sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda
dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena
sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan
seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan
ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih
(menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat
lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai
komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam
masing-masing mazhab.
- Periode
kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah
(Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293.
Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan
fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam
sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara
membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk
menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada
semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi
perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari
gerakan hasyiah dan
takrir adalah
untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab
mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh
yang menonjol pada periode ini.
- Munculnya
upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku
yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi
(mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini
disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh.
Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu
menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering
kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
- Muncul
beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani,
seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum
(kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri
(penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam
menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan
terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena
sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan
ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib
dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya
suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu
dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu
maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan
transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang
yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama
dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas
sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan
oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan
Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya
menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
- Di akhir
periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab
resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki
Usmani, seperti Majalah al-Ahkam
al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di
seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
Periode pengkodifikasian fiqh.
Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai
sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang luas,
sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam
mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum
keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat
mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum
yang berlaku di negara muslim. Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqh yang
menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqh dari keterikatan mazhab tertentu
dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali. Mustafa Ahmad az-Zarqa
mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada periode
ini.
- Munculnya
upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal
ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam
al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat
persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang
melandasi pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah
yang didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah
terdapatnya beberapa pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan
penegak hukum untuk memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang
mereka hadapi. Atas dasar ini, pemerintah Turki Usmani meminta ulama untuk
mengkodifikasikan fiqh dalam Mazhab Hanafi tersebut dan memilih pendapat
yang paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu.
- Upaya
pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi
Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk
pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak.
Pengkodifikasian hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja,
tetapi juga hukum pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang
dimuat dalam hukum perdata tersebut menyangkut persoalan
ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang berkaitan dengan
hukum acara. Meluasnya pengkodifikasian hukum di bidang perekonomian dan
perdagangan disebabkan karena meluasnya hubungan ekonomi dan perdagangan
di dalam dan luar negeri. Untuk itu, penguasaan terhadap hak milik yang
ada di dalam negeri juga diatur, seperti pengadministrasian tanah-tanah
rakyat dengan menetapkan berbagai peraturan yang menyangkut pemilikan
tanah, serta penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara
berperkara di pengadilan. Akibat yang ditimbulkan oleh pengkodifikasian
hukum perdata di bidang perekonomian dan perdagangan ini adalah semakin
jumudnya fiqh di tangan para fuqaha Hanafi yang datang belakangan (muta'akhkhirin)
serta terhentinya upaya pembaruan hukum dan bahkan upaya pen-tarjih-an
hukum.
- Munculnya
upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali
dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh
bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi
permasalahan yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain
yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas dasar
pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum
keluarga yang disebut dengan al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak
saja bersumber dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya,
seperti Mazhab Maliki, Syafi 'i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab
yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan as-Sauri.
Langkah yang ditempuh Kerajaan Turki Usmani ini pun diikuti oleh
negara-negara Islam yang tidak tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan Turki
Usmani.Terdapat perbedaan pereodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh
kontemporer, diantaranya adalah menurut Muhammad Khudari Bek dan Mustafa
Ahmad az-Zarqa pada masa Awal hingga periode keemasaannya.
Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi'i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil.
Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar